Tuesday, June 12, 2012

Haji Sukri, Nominasi Liputan 6 SCTV Award (1)


Walikota Solok Irzal Ilyas bersama Haji Sukri saat panen jagung.
Menemukan Jagung Hibrida Unggul


Belajar dari Alam
Meski belum berhasil sebagai pemenang, Nominator Liputan 6 SCTV Award bidang inovasi, Haji Sukri tetap dianggap figur yang sangat inspiratif. Pria kelahiran Saniang Baka 15 April 1949 yang hanya tamatan kelas 4 sekolah dasar ini mampu menemukan jagung hibrida unggul. Kini sudah 6 varietas yang dia temukan. Jagung unggul itu sudah diproduksi secara massal dan dipasarkan secara nasional.

Parasaian hidup mem­buat Haji Sukri tahun 1965 nekat merantau ke Jakarta dengan harapan bisa mendapat pekerjaan yang lebih layak daripada sekadar menjadi petani di kampung. Saat itu umurnya baru 16 tahun. Di ibukota dia berjual pakaian di kaki lima. Ternyata tak mudah hidup di Jakarta. Kesulitan demi ke­su­litan dia alami sehingga Haji Sukri memutuskan pindah ke Ka­bu­paten Preung Sewu, Lampung tahun 1968. Di sana di menjual berbagai macam jenis pakaian.

Petani cengkeh di Lampung saat itu sedang berjaya. Mereka kaya raya dari hasil cengkehnya. Sukri dan pedagang lainnya sering merasa dilecehkan dengan ting­kah polah mereka. Para petani cengkeh itu seringkali saat mem­beli ke pasar menunjuk barang yang dibelinya dengan kaki.

Sejak saat itulah Sukri ter­tan­tang untuk pulang kampung, kembali menjadi petani. “Di Lam­pung petani bisa jaya, di Solok juga pasti bisa,” gumam Haji Sukri dalam hati. Namun Sukri masih tetap ingin bertahan. Dia masih punya optimisme bisa sukses di perantauan. Tahun 1969 Sukri memutuskan kembali ke Jakarta. Di sana dia kembali menjadi PKL tapi tak berlangsung lama.

Tahun 1969 Sukri pulang kampung karena ibunya me­ninggal. Dia pulang tanpa mem­bawa keberhasilan. Sejak saat itulah dia memutuskan menjadi petani. Dia ingat betul petani di Preung Sewu Lampung Selatan yang bisa sukses dan kaya raya hanya dengan bertani.

Mulai lah Sukri kembali men­jadi petani, mulai lah dia me­nanam bawang dan cengkeh, sam­bil menanam jagung di bedeng-bedeng ladangnya. Sukri memang punya hobi ke sawah dan ladang. Hari-harinya dihabiskan di sana. Tak lupa di membawa rantang berisi makanan untuk bekal se­hingga tak  perlu pulang ke rumah jelang siang.

Sukri memang hobi me­nga­winkan tanaman. Saat bertanam cengkeh dia sudah mencoba me­ngawinkan jambu keeling dengan cengkeh. Menurutnya karena varietasnya sama, otomatis bisa dikawinkan. Hasilnya memang tak sempurna tetapi Sukri tak putus asa.

Sifatnya yang selalu penasaran dan sangat mencintai pertanian membuatnya selalu melakukan uji coba terhadap tanaman. Pada tahu 1982, Sukri memfokuskan diri pada pengembangan cabe, jagung dan tomat. Namun dia lebih fokus pada jagung karena menurutnya lebih prospektif. Bagi Sukri men­jadi petani tidak sekadar me­nerima benih yang dijual di pa­saran. Dia menginginkan benih unggul yang punya produktivitas tinggi. Menurutnya, untuk me­majukan pertanian, langkah awal yang harus dilakukan adalah menyediakan bibit unggul.

Namun Sukri tak punya pe­nge­tahuan yang cukup bagaimana cara mendapatkan benih unggul. Awalnya dia hanya melakukan cara-cara tradisional. Dia me­na­nam jagung di sela-sela tanaman cabe. Setiap panen, diambilnya lima tongkol yang dianggap paling baik hasilnya dan digantungnya di sudut dapur sampai kering. Nanti benih jagung itu ditanam lagi dan seterusnya sampai benar-benar murni. Benih jagung yang murni ini kemudian dikawinkan sesa­manya sehingga dia mendapatkan jagung hibrida.

Sukri tak sadar, apa yang dia lakukan itu ternyata merupakan bagian dari kegiatan pemuliaan tanaman. Untuk menyem­pur­na­kan metode yang dia lakukan, Haji Sukri mencari referensi dari ber­bagai buku. “Waktu itu saya dapat buku yang tidak utuh, hanya 10 halaman yang berisi tentang pe­mu­liaan tanaman. Buku itu ba­nyak membantu saya. Sekarang bu­kunya hilang entah kemana,” ujarnya di ruang kerjanya, Rabu lalu (23/5).

Kerja keras yang dilakukan Haji Sukri sejak tahun 1982 itu pun membuahkan hasil. Setelah melalui berbagai tes, benih unggul yang dihasilkan Haji Sukri lolos murni dan dilepas varietasnya oleh Kementerian Pertanian tahun 2000. Sejak saat itu di bawah bendera PT Citra Nusantara Man­diri, jagung hibrida temuannya diproduksi secara massal untuk memenuhi kebutuhan PT Pertani.

Hingga saat ini Haji Sukri sudah menemukan 6 varietas jagung unggul. Tiga varietas yang terakhir yakni N37, NT105 dan NT108 baru dilepas tahun ini. “Varietas baru itu harus memiliki keunggulan dibanding varietas sebelumnya. Jadi harus ada ino­vasi secara terus menerus, tidak boleh berhenti,” ujarnya.

Menurut Haji Sukri varietas lama bisa dirombak lagi dan di­kawinkan dengan varietas lain. Yang penting dari setiap per­ka­wi­nan tanaman yang kita lakukan ada nilai tambah. Karena itu, harus di­kenali keunggulan dan kele­ma­han dari calon yang akan dika­win­kan.

“Misalnya begini, anak kita mau kita kawinkan. Dari 10 indi­kator, dia unggulnya tujuh. Kita harus tahu apa yang tujuh ke­ung­gulannya itu dan tiga kele­ma­han­nya. Dari sana baru kita cari calon mantu yang punya keunggulan pada tiga kelemahan anak tadi,”  ujarnya.

Haji Sukri menjelaskan jagung yang sudah murni bisa kembali menyimpang setelah 2 sampai 3 tahun dibudidayakan. Namun tidak setiap penyimpangan itu jelek. Penyimpangan itu juga bisa dikendalikan dengan mudah.

“Jagung yang menyimpang itu kita bungkus dengan rapat. Di dalamnya kan ada unsur rambut dan malai. Rambut be­tina dan malai jantan. Setelah ada serbuk pecah, jangan kita tunggu pecah sendiri semuanya tetapi kita yang pecahkan. Da­lam dua kali kawin sudah bisa kembali normal,” jelasnya.

Source : http://padangekspres.co.id/?news=berita&id=29010



No comments:

Post a Comment