Sunday, June 17, 2012

Sejarah Hama dan Pestisida Indonesia

Herbisida Kontaxone
Sampai 1900: Umumnya kegiatan pertanian masih bersifat alami, hanya diusahakan untuk pemenuhan kebutuhan sendiri serta belum tersentuh ilmu pengetahuan dan teknologi. Petani menggunakan caranya sendiri yang diperoleh secara turun temurun, termasuk dalam pengendalian hama. Di sebagian wilayah, ada yang menggunakan metode ritual tertentu untuk mengusir hama, misalnya tikus.

1830-1870: Kebijakan tanam paksa (Cultuurstelsel). Kegiatan perlindungan tanaman di Indonesia telah berlangsung sejak masa penjajahan Belanda.

1905: Departemen Pertanian, Kerajinan dan Perdagangan Hindia Belanda dibentuk pada 1 Januari 1905 dengan Direktur pertamanya Dr. M. Treub. Tugas Departemen Pertanian adalah memperbaiki keadaan pertanian, peternakan dan perikanan tradisional yang kemudian dikenal sebagai pertanian rakyat. Pemerintah Hindia Belanda mulai membangun jaringan irigasi dan infrastruktur lainnya guna meningkatkan produksi padi, palawija, dan sayuran. Adanya kebijakan Departemen Pertanian menyebabkan produksi tanaman pangan meningkat.

1946-1947. Terjadi kekeringan panjang yang menurunkan produksi beras sehingga Indonesia harus melakukan impor beras.

1950-1960. Penggunaan pestisida sintetik di seluruh dunia termasuk di Indonesia semakin meningkat dan dominan pada era ini.

1960-1970. Merupakan era keemasan pestisida kimia. Permintaan dan penggunaan pestisida pertanian meningkat sangat cepat sehingga menumbuhkan industri-industri raksasa multinasional yang menguasai pasar pestisida dunia.

1962. Konsep Panca Usaha Tani lahir pada tahun 1962. Program ini dinilai cukup sukses, terbukti hasil padi dapat ditingkatkan dua kali lipat. Kesuksesan program Panca Usaha Tani disebarluaskan dalam program Demonstrasi Massal pada MT 1964/1967. Program-program intensifikasi seperti Demonstrasi Massal (Demas), Bimbingan Massal (Bimas), Intensifikasi Massal (Inmas), Intensifikasi Khusus (Insus) melibatkan jutaan petani dan jutaan hektar sawah.

1973. Lahirnya Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1973. Untuk melindungi keselamatan manusia dan sumber-sumber kekayaan alam khususnya kekayaan alam hayati, dan supaya pestisida dapat digunakan efektif, maka peredaran, penyimpanan dan penggunaan pestisida diatur dengan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1973. Dalam peraturan ini antara lain ditentukan bahwa: tiap pestisida harus didaftarkan kepada Menteri Pertanian melalui Komisi Pestisida untuk dimintakan izin penggunaannya. Hanya pestisida yang penggunaannya terdaftar dan atau diizinkan oleh Menteri Pertanian boleh disimpan, diedarkan dan digunakan. Lalu, pestisida yang penggunaannya terdaftar dan atau diizinkan oleh Menteri Pertanian hanya boleh disimpan, diedarkan dan digunakan menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam izin pestisida itu, serta tiap pestisida harus diberi label dalam bahasa Indonesia yang berisi keterangan-keterangan yang dimaksud dalam surat Keputusan Menteri Pertanian No. 429/ Kpts/Mm/1/1973 dan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam pendaftaran dan izin masing-masing pestisida.

-Keluarnya surat Keputusan Menteri Pertanian No. 429/ Kpts/Mm/1/1973

1977. Sejak tahun 1977, kelompok pakar perlindungan tanaman mengusulkan agar Pemerintah menerapkan PHT untuk mengendalikan hama-hama tanaman pangan.

1978-1979. Terjadi letusan hama wereng coklat padi pada ratusan ribu hektar sawah.

1978. Keluarnya satu buku penting tentang pestisida yang berjudul “The Pesticide Conspiracy” yang ditulis oleh Dr. Robert van den Bosch.

1980-1983. Proyek Perintis PHT Nasional dilaksanakan di Jawa, Sumatera dan Sulawesi Selatan. Antara tahun 1980 dan 1983, Program Nasional PHT menerima bantuan teknis dari kelompok khusus IRRI dan proyek penelitian dari Jepang. ICP mulai memperkuat Program Nasional PHT Indonesia pada tahun 1980 dengan mengingkatkan paket pelatihan dan teknologi dengan pengalaman yang diperoleh dari proyeksi Program Nasional Filipina. Direktorat Perlidungan Tanaman mengatur pelaksanaan demonstrasi PHT dengan pendekatan yang sama dengan pendekatan pada program Bimas (LAKU).

1980. Pemerintah mulai melaksanakan Proyek Rintisan Penerapan PHT pada tanaman padi di 6 propinsi yaitu: Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, Sulawesi Selatan dan Sumatera Utara.

-Dilakukan upaya untuk mengatasi masalah hama dan gulma yang dilematis. Betapa tidak, pestisida yang dianggap menyelesaikan masalah pertanian khususnya dalam pembasmian hama, ternyata menimbulkan dampak. Senyawa-senyawa kimia yang tertinggal, senyawa sisa yang dimanfaatkan tanaman, namun tertinggal dalam tanah. Senyawa yang tertinggal inilah yang mengganggu dan merusak aktifitas tanah. Tanah akan mengalami defisiensi unsur hara alami karena adanya reaksi antar senyawa sisa pestisida dengan hara alami. Selain mempengaruhi keadaan tanah, ternyata pestisida sendiri secara tidak langsung memberikan peluang terputusnya sistem ekologis areal persawahan dan perkebunan tanaman, yang akhirnya membuat sistem ekologis baru, dimana hewan predator menghilang, hama menjadi kebal setelah beberapa generasi beradaptasi dengan pestisida, dan kekalahan terbesar bagi petani adalah ketika tanah menjadi ketergantungan terhadap pestisida.
1984. ICP dan Direktorat Perlindungan Tanaman melakukan survei pada lahan-lahan demonstrasi PHT dan melihat bahwa populasi hama di beberapa wilayah meningkat pesat.

-Indonesia berhasil mencapai sasaran swasembada beras naional.

1985-1986. Kembali  terjadi letusan lokal wereng coklat padi di pulau Jawa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian insektisida padi yang direkomendasi mendorong terjadinya resurjensi wereng coklat. Kembali terjadi ledakan populasi wereng coklat dan merusak lahan padi seluas kira-kira 275.000 hektar. Ledakan serupa ini terjadi pula di Malaysia dan Thailand antara tahun 1977 dan 1990. Hama wereng coklat merupakan hama padi “baru”. Sebelum tahun 1970 hama ini belum pernah tercatat sebagai hama padi penting Indonesia. Akibat letusan wereng coklat tersebut pencapaian sasaran produksi beras nasional terhambat. Namun, ironisnya, sampai tahun 1979, banyak pakar belum menyadari bahwa kemunculan dan letusan wereng coklat di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari penggunaan pestisida kimia.

1986. Pemerintah mengumumkan Kebijakan PHT Nasional Indonesia pada tanggal 5 November 1986, dengan munculnya Instruksi Presiden no. 3 tahun 1986 (INPRES 3/86) tentang Pengendalian Hama Wereng Cokelat Padi. Melalui Inpres tersebut, Presiden menginstruksikan untuk melakukan paling sedikit 4 butir kebijakan, yaitu: (1) Menerapkan PHT untuk pengendalian hama wereng batang cokelat dan hama-hama padi lainnya, (2) Melarang penggunaan 57 nama dagang formulasi (merek) insektisida pada padi, (3)  Melaksanakan koordinasi untuk peningkatan pengendalian wereng cokelat, dan (4) Melakukan pelatihan petani dan petugas tentang PHT.

- Serangan hama wereng besar terjadi tahun 1986, lalu terjadi lagi tahun 1998 dan tahun 2010.

1989. Keluarnya kebijakan pemerintah tentang pencabutan subsidi pestisida pada tahun 1989. Langkah-langkah kebijakan tersebut memperoleh penghargaan dari banyak negara dan lembaga internasional. Sebagai tindaklanjut dari INPRES 3/86, dibentuklah kelompok kerja menteri antarsektor untuk menerapkan kebijakan PHT. Tanggungjawab penerapan PHT dipindahkan dari Departemen Pertanian ke BAPPENAS. Prioritas yang diutamakan adalah mengubah perilaku petani, administrator dan petugas pertanian dengan meningkatkan pengetahuan, pemahaman dan keterampilan mereka. Kegiatan awal yang dilakukan adalah menyelenggarakan rekrutmen dan kursus kilat PHT untuk memilih dan melatih para calon pemandu, pengamat hama, petugas penyuluh lapangan (PPL) dan petani.

-Bank Dunia menyetujui pinjaman untuk proyek Penyuluhan Nasional (USD 4,2 juta untuk Proyek Penyuluhan Nasional tahap II) untuk pelatihan PHT. Integrated Crop Protection (ICP) FAO membantu Direktorat Perlindungan Tanaman Departemen Pertanian untuk memperoleh data lapangan PHT dan memperluas kisaran latihan kepada para spesialis. Varietas tahan wereng (VUTW, misalnya IR36 dan IR64) dipromosikan dengan lebih gencar, dan jaringan Pengamatan, Peramalan dan Peringatan Dini diperluas agar dapat dengan segera mengatasi permasalahan hama (wereng) di lapangan.

1990. Sejak awal tahun 90-an, pemerintah melalui undang-undang meminta kepada para petani untuk tidak lagi mengunakan pestisida kimia. Karena dirasa kontaminasinya berpengaruh besar bagi ekosistem alam. Hingga saat ini petani diharapkan untuk tidak menggunakan pestisida atau bahan kimiawi baik untuk memberantas hama, atau meningkatkan produktivitas tanaman. Sebagai alternatif pemerintah telah mengeluarkan pestisida organik, dan cara-cara pemberantasan dengan lebih memperhatikan ekosistem lingkungan.

1992. Dalam pengendalian organisme pengganggu tumbuhan (OPT) berdasarkan sistem Pengendalian Hama Terpadu (PHT) UU No. 12 Th. 1992. Konsep ini mengandung lima yaitu: (1) Membudidayakan tanaman sehat, (2) memanfaatkan sebesar-besarnya musuh alami, (3) menggunakan varietas tahan, (4) menggunakan pengendalian fisik/mekanik dan (5) dan penggunaan pestisida bilamana perlu.

-Keluarnya UU. 12 tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman. UU tersebut menyatakan bahwa perlindungan tanaman dilaksanakan dengan sistem Pengendalian Hama Terpadu.

1995. Keluarnya PP No. 6 tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman, bahwa perlindungan tanaman dilaksanakan dengan menerapkan sistem Pengendalian Hama Terpadu yang pelaksanaannya menjadi tanggungjawab petani dengan bimbingan Pemerintah. Dalam upaya mendukung penyelenggaraan PHT tersebut, pemerintah menyelenggarakan pelatihan Sekolah Lapang PHT (SL-PHT) bagi Petugas dan Petani.
-Di dalam PP No. 6/1995 Pasal 10 dan 11: Tindakan pengendalian dilakukan baik dalam rangka pencegahan maupun penanggulangan OPT yang dilakukan dengan cara fisik, mekanik, budidaya, biologi, genetik, kimiawi, dan cara lain sesuai perkembangan teknologi. Pengendalian OPT dilakukan oleh: Perorangan atau badan hukum yang memiliki dan/atau menguasai tanaman,  Kelompok dalam masyarakat yang dibentuk untuk mengendalikan OPT

-Berdasarkan UU 12 tahun 1992, tahun 1995 Pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah No.6 tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman. Dengan dua peraturan perundang-undangan tersebut, kedudukan PHT sebagai kebijakan nasional perlindungan tanaman menjadi sangat kuat

-Keluarnya PP No 6 tahun 1995 Tentang Perlindungan Tanaman

1996.  Komisi Pestisida menyatakan bahwa mereka kekurangan dana dan tenaga ahli. Komisi Pestisida masih kesulitan dana dan tenaga ahli dalam menyiapkan perangkat laboratorium penguji sebagai realisas keputusan BMR Menkes dan Mentan.   
-Keluar SKB Menteri Kesehatan dan Menteri Pertanian No. 881/Menkes/SKB/VIII/1996 dan No.711/Kpts/Tp.270/8/96 tentang Batas Maksimum Residu (BMR) pestisida hasil pertanian, tertanggal 22 Agustus 1996.   Keputusan tersebut dikeluarkan dengan maksud membatasi perdagangan buah tertentu, baik produksi lokal maupun impor, menurut kandungan residu pestisidanya.

1997. Pada Kepmentan No. 887/Kts/OT.210/9/97, Pengendalian OPT harus memenuhi aspek ekologi, aspek ekonomis, aspek sosial dan aspek teknis serta pengendalian pencegahan dan penanggulangan OPT pra tanam, pertumbuhan pasca panen.

2000. UU No. 29 tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman.
-Sesuai dengan peraturan pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 menjelaskan bahwa pemerintah pusat mempunyai kewenangan dalam melaksanakan pengaturan dan pengawasan produksi, peredaran, penggunaan dan pemusnahan pestisida.

2004. UU No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan
2007. Terkait dengan PP No. 38 tahun 2007, tentang Pembagian urusan pemerintah antara pemerintah, pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota, bahwa pemerintah (pusat) bertanggung jawab dalam hal penetapan kebijakan perlindungan tanaman, pengaturan dan penetapan norma, standar teknis pengendalian OPT dan mitigasi dampak fenomena iklim, penetapan dan penanggulangan wabah OPT skala nasional dan penanganan gangguan usaha perkebunan nasional. Sedangkan pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota melaksanakan perlindungan di wilayahnya dalam hal pengamatan, identifikasi, pemetaan, pengendalian dan analisis dampak kerugian OPT/fenomena iklim.

-Produsen obat-obatan pembasmi hama dan penyakit tanaman yang tergabung dalam Himpunan Masyarakat Pestisida Nasional (HMPN), menyatakan akan menaikkan harga pestisida pada 2008 menyusul kenaikan harga minyak mentah dunia.

- Indonesia masih mengimpor 90 persen bahan aktif pestisida yang merupakan produk derifativ minyak bumi.

2008. Hingga kwartal I tahun 2008, tercatat 1702 formulasi yang telah terdaftar dan diizinkan penggunaannya. Sedangkan bahan aktif yang terdaftar telah mencapai 353 jenis.
2012. Himpunan Masyarakat Pestisida Nasiona (HMPN) mengklaim menguasai pasar pestisida di tanah air 40% atau Rp 2,24 triliun dari total pangsa pasar Rp5,6 triliun. HMPN mengatakan pihaknya menargetkan dapat menggeser pasar pestisida multinasional atau merek asing yang selama ini masih mendominasi pasar lokal

- Penggunaan pestisida di Indonesia semestinya memenuhi standar mutu yang ditetapkan Undang-Undang Tentang Sistem Budidaya Tanaman No. 12 Tahun 1992. Namun, di lapangan, marak beredar pestisida-pestisida yang kurang aman bagi kesehatan ketika diaplikasikan. Pada pasal 38 ayat 1 disebutkan bahwa, “Pestisida yang akan diedarkan di dalam wilayah negara Republik Indonesia wajib terdaftar, memenuhi standar mutu, terjamin efektivitasnya, aman bagi manusia dan lingkungan hidup, serta diberi label.” Untuk menjamin kualitas dan mutu pestisida, pestisida tersebut harus terdaftar di Komisi Pestisida dan dilakukan pengujian mutu pestisida agar aman digunakan oleh masyarakat Indonesia khususnya petani.

- Sesuai pasal 38 ayat 2 disebutkan bahwa,” Pemerintah menetapkan standar mutu pestisida sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dan jenis pestisida yang boleh diimpor.” Dalam hal ini, pestisida-pestisida yang ingin diimpor harus memenuhi standar yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia. Sebab, kandungan pestisida yang ingin dimpor kemungkinan besar dapat membahayakan lingkungan, manusia, dan tanaman yang dibudidayakan di Indonesia. Untuk itu, pemerintah berupaya menetapkan pestisida-pestisida yang ingin diimpor konsumen di Indonesia. Hal ini terkait dengan keamanan penggunaan pestisida bagi lingkungan.

- Menurut data Departemen Perindustrian dan Perdagangan diketahui bahwa setiap tahunnya jumlah perusahaan pemegang pendaftaran pestisida terus bertambah. Saat ini, tak kurang dari 511 formulasi pestisida yang telah terdaftar dan diizinkan beredar untuk pertanian dan kehutanan. Umumnya berbahan bahan aktif senyawa kimia sintetik. Dari angka tadi, lima puluh persennya dipakai untuk mengendalikan serangga dan 24 persen membunuh jamur. Sisanya sebagai pengendali gulma.

Source : http://kontraberita.blogspot.com

No comments:

Post a Comment