A. PELUANG PASAR, KESEMPATAN KERJA & LUAS AREAL TANAMAN SINGKONG
Sebagaimana
diuaraikan di atas peluang pengembangan usaha budi daya singkong sangat
terbuka, hal ini tidak lain karena kebutuhan produk dan beragamnya
produk olahan dari bahan dasar singkong seperti Gaplek, Chips, Pellet,
tepung, dengan pangsa pasar untuk dalam negeri seperti industri makanan
& minuman ( kerupuk, Sirup), industri textile, industri bahan
bangunan ( Gips & Keramik ), Industri kertas, industri pakan
ternak, sedagkan untuk pangsa pasar luar negeri dengan tujuan eksport
adalah Negara Masyarakat Ekonomi Eropa, Jepang, Korea, China, Amerika
Serikat, Jerman, dengan pemanfaatan untuk bahan baku farmasi, bahan baku
industri lem, bahan baku industri kertas, dan bahan baku industri pakan
ternak.
Potensi Singkong
UNIDO (UN Industrial
Development Organization) atau Badan PBB di bidang Pembangunan Industri
sudah sejak awal tahun 1980-an menerbitkan beberapa laporan tentang
potensi singkong atau ubi kayu atau sampeu atau manioc, terutama
di negara berkembang seperti di Indonesia yang memiliki lahan luas dan
memungkinkan, karena permintaan pasar produk singkong tersebut dalam
bentuk gaplek, tepung gaplek, dan terutama tepung tapioka, sangat
tinggi.
Dari data UNIDO sejak tahun 1982, terbesar ke-3
(13.300.000 ton)Indonesia tercatat sebagai negara penghasil setelah
Brasil (24.554.000 ton), kemudian Thailand (13.500.000 ton), serta
disusul oleh negara-negara seperti Nigeria (11.000.000 ton), India
(6.500.000 ton), dan sebagainya, dari total produk dunia sebesar
122.134.000 ton per tahun. Walau dari hasil kebun per hektar (ha),
Indonesia masih rendah, yaitu 9,4 ton, kalau dibandingkan dengan India
(17,57 ton), Angola (14,23 ton), Thailand (13,30 ton), Cina (13,06 ton),
Brasil (10,95 ton). Tetapi, lahan yang tersedia untuk budidaya singkong
cukup luas, terutama dalam bentuk lahan di dataran rendah serta lahan
di dataran tinggi berdekatan dengan kawasan hutan.
Pada umumnya,
di Indonesia masih jarang budidaya singkong berbentuk perkebunan dengan
luas di atas lima hektar, karena umumnya masih merupakan kebun sela atau
tumpang sari setelah penanaman padi huma, kebun hortikultura, ataupun
hanya merupakan kebun sambilan, yang lebih banyak ditujukan untuk
panenan daun/pucuknya yang dapat dijual untuk lalap, urab, ataupun
makanan lainnya. Sedang dari ubinya, merasa sudah cukup hanya menjadi
makanan panganan, baik dalam bentuk keripik, goreng singkong, rebus
singkong, urab singkong, ketimus, opak, sampai ke bubuy singkong. Kadang-kadang dapat pula ditingkatkan menjadi makanan yang lebih "bergengsi" kalau menjadi "misro" (atau amis di jero/di dalam) atau "comro" (oncom di jero), dan sebagainya.
Ekspor
singkong Indonesia dalam bentuk gaplek (keratan ubi singkong yang
dikeringkan), tepung gaplek, ataupun tepung tapioka cukup meyakinkan dan
dapat bersaing, seperti gaplek Indonesia yang sangat terkenal di
mancanegara, terutama di Masyarakat Eropa (ME) sehingga harganya mampu
bersaing dengan produk sejenis dari beberapa negara di Afrika, juga dari
India dan Thailand, yaitu rata-rata dengan harga 65-75 dollar AS/ton,
kemudian meningkat sampai 130 dollar AS/ ton, padahal produk yang sama
dari India, Thailand, dan apalagi dari negara-negara di Afrika, hanya
mencapai 60 dollar AS/ ton dan tidak lebih dari 80 dollar AS/ton.
Akan
tetapi, berbeda dengan produk tapioka, yang semula Indonesia dikenal
sebagai penghasil tepung tapioka terbaik kualitasnya, bahkan mendekati
kualitas pharmaceutical grade atau produk bahan baku untuk
keperluan farmasi, tetapi tiba-tiba pada tahun 1980-an jatuh menjadi
kualitas terendah, kalah oleh produk sejenis dari negara-negara Afrika,
apalagi dari India dan Thailand.
Masalahnya adalah, bahwa di dalam
tepung tapioka hasil Indonesia terdapat residu (sisa) pestisida yang
membahayakan, bahkan di atas ambang batas.
Memang budidaya
singkong, pada umumnya di Indonesia, tidak menggunakan pestisida,
terutama insektisida (pembasmi hama). Tetapi, mohon untuk diketahui,
bahwa pada umumnya pabrik tapioka, yaitu pengolah ubi kayu menjadi
tepung, umumnya berada di lingkungan kawasan pertanian padi, serta untuk
keperluan pabrik, sejak mencuci ubi sebelum dihancurkan (diparut),
menghasilkan "larutan" tapioka dari parutan sampai ke pengendapan dan
memisahkan larutan menjadi "bubur" tapioka, dari selokan yang keluar
dari kotakan sawah. Jadi kalau dihitung secara teoretis (on paper)
penggunaan pestisida, apakah itu organofosfor ataupun lainnya,
rata-rata dua kilogram (kg) per ha sawah, maka sisa yang terdapat di
dalam air sawah, sekitar 150-200 ppm (part per million atau 1 mg per
liter). Dengan begitu, wajar saja kalau sisa/residu tersebut akan
terdapat antara 20-35 ppm pada tepung tapioka, sedangkan persyaratan WHO
harus kurang dari 0,05 ppm.
Saat produk tapioka Indonesia jatuh
dan terpuruk, maka kalau mau dijadikan komoditas ekspor, khususnya ke
Eropa, harus dijual dulu melalui Singapura, karena di negara tersebut
tapioka kita yang sudah tercemar residu pestisida akan "dicuci" terlebih
dahulu hingga memenuhi syarat, kemudian baru diekspor ke beberapa
negara di Eropa dengan nama "Made in Singapore", padahal, kelakar banyak
pakar pertanian, di Singapura tersebut jangankan ada kebun singkong,
mencari untuk obat saja sudah susah, dan baru ada di Malaysia.
Tahun
1980-an, ekspor produk singkong Indonesia, terutama dalam bentuk gaplek
dan tepung tapioka, umumnya ke negara-negara ME. Sedangkan yang
membutuhkan produk singkong Indonesia, banyak negara di luar ME.
Akibatnya keluar semacam SK Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri
tahun 1990, yang menyatakan bahwa eksportir Indonesia yang mau
mengekspor ke luar ME akan dapat rangsangan 1:2, yaitu dalam bentuk
mereka akan dapat jatah ekspor ke ME sebesar dua kali jumlah ekspornya
ke non-ME.
Makin menurunnya jumlah ekspor gaplek, karena penurunan
produk singkong Indonesia, misalnya dari 17,1 juta ton tahun 1989,
menjadi 16,3 juta ton tahun 1990. Ini disebabkan pula karena konsumsi di
dalam negeri untuk banyak kegunaan dalam bentuk singkong mencapai 12,65
juta ton, sehingga sisa singkong yang akan digaplekkan hanya sekitar
tiga juta ton saja. Dengan catatan konversi (perubahan) dari ubi
singkong segar menjadi gaplek sekitar 30 persen saja. Karena itu, tidak
heran kalau ekspor juga ikut anjlok, yaitu dari sekitar 790.000 ton ke
ME dan 657.104 ke luar ME hanya menjadi 122.845 ton (tahun 1989-1990).
Ternyata penurunan tersebut terkait dengan banyak petani singkong yang
sudah tidak mau lagi menanam singkong; disebabkan antara lain karena
"tanah bekas" singkong menjadi lebih kurus karena selama penanaman tidak
pernah dilakukan pemberian pupuk, misalnya pupuk organik dalam bentuk
pupuk hijau (tanaman polong-polongan), serta faktor lainnya lagi, antara
lain, banyak pabrik tapioka daerah yang kemudian gulung tikar, sehingga
produk para petani kemudian banyak yang rusak, misalnya perubahan warna
menjadi kehitam-hitaman ataupun membusuk. Juga singkong untuk bahan
baku tapioka berbeda dengan singkong konsumsi, yaitu kandungan senyawa
cyanida lebih tinggi dan terasa pahit.
Petani, bukan saja
disebabkan karena keterbatasan lahan untuk budidaya singkong yang
menyebabkan mereka tidak tertarik, tetapi juga karena pemasaran yang
bertahap, sehingga dari petani bernilai antara Rp 36 - Rp 50/kg segar,
dan para pengumpul menerima sekitar Rp 75-Rp 100/kg segar. Dulu ketika
di hampir tiap daerah/desa banyak bermunculan pabrik pengolah singkong
menjadi tapioka, hasil jerih payah mereka banyak membantu pendapatan.
Bahwa
bertani singkong menguntungkan, banyak dialami petani di beberapa
daerah di Jawa Barat, mulai dari Kabupaten Purwakarta, Subang, Sumedang,
Tasik, Ciamis, Garut, sampai sukabumi dan Cianjur.
Mereka menanam
singkong bukan sekadar sambilan, tetapi sudah dikhususkan pada lahan
yang sudah ada, dengan luas antara 1-4 ha, umumnya terletak di lereng
pegunungan, berbatasan dengan lahan Kehutanan/Perhutani. Lahan untuk
tanaman singkong tidak harus khusus, dan tidak memerlukan penggarapan
seperti halnya untuk tanaman hortikultura lainnya, misal sayuran. Juga
selama penanaman, tidak perlu pemupukan dan pemberantasan hama atau
penyakit.
Ternyata hasil tiap panen (antara 5-6 bulan setelah
penanaman) dari luas 1 ha akan dapat diraih keuntungan sekitar Rp
2.500.000, yaitu dari hasil penjualan umbinya (4-6 ton) serta pucuk
daunnya. Yang perlu diketahui, bahwa selama budidaya tidak banyak
pekerjaan yang harus dilakukan, misal menyiangi gulma (hama). Tentu saja
kalau hal ini dilakukan, hasilnya akan dapat lebih baik lagi. Padahal
bibit singkong yang mereka tanam masih jenis tradisi, yang hanya
memberikan hasil ubi sekitar 4-8 ton/ha.
Sekarang, seperti yang
dilakukan oleh para pengusaha singkong di daerah Lampung, Sulawesi
Selatan, serta daerah lainnya, di samping lahan yang digunakan dapat
lebih dari 500 ha/kebun, bahkan ada yang mencapai ribuan ha, juga bibit
singkong umumnya merupakan bibit unggul seperti Manggi (berasal dari
Brasil) dengan hasil rata-rata 16 ton/ha, Valenca (berasal dari Brasil)
dengan hasil rata-rata 20 ton/ha, Basiorao (berasal dari Brasil) dengan
hasil rata-rata 30 ton/ ha, Muara (berasal dari Bogor) dengan hasil
rata-rata 30 ton/ ha, Bogor (asal dari Bogor) dengan hasil rata-rata 40
ton/ha. Bahkan, sekarang ada pula jenis unggul dan genjah (cepat
dipanen), seperti Malang-1, dengan produksi antara 45-59 ton/ha atau
rata-rata 37 ton, Malang-2, dengan produksi rata-rata antara 34 - 35
ton/ha.
Semakin banyak petani berdasi yang saat ini mulai melirik
budidaya singkong dengan luas tanam di atas 50 ha, terutama di Sumatera,
Sulawesi, dan Kalimantan, karena permintaan produk, terutama dalam
bentuk gaplek, tepung gaplek dan tepung tapioka, terus meningkat dengan
tajam. Serta produk olahan singkong Indonesia, terutama dalam bentuk
gaplek dan tepung gaplek, dapat bersaing dengan produk sejenis dari
negara-negara di Afrika, juga dari Thailand dan India. H UNUS
SURIAWIRIA, Bioteknologi dan Agroindustri, ITB
B. MENANAM BENSIN DIKEBUN SINGKONG
[ ilmu & Teknologi, Gatra No:13 Beredar senin, 7 Februari 2006]
MENTERI
Riset Dan Teknologi Kusmayanto Kadiman ternyata bisa juga jadi supir,
Mantan Rektor Institut Teknologi Bandung itu tanpa canggung duduk
dibelakang setir Land Rover Discovery. Penumpangnya Direktur Jenderal
Industri Kimia dan Direktur Jenderal Migas. Mobil kelas atas ini
meluncur dari Gedung BPPT di jalan M. H. Thamrin menuju Monumen
Nasional, lalu kejalan Jenderal Sudirman dan Memutar lagi di Jembatan
semanggi balik lagi ke BPPT.
Tak lama Kusmayanto jadi supir kamis terakhir dibulan Januari itu hanya memamerkan kinerja mobil berbahan bakar Singkong
Tapi demo Kusmayanto belum berakhir”Saya akan Promosikan ke Istana
Negara,”katanya . Namun sebelum beranjak ke Istana rupanya gayung sudah
bersambut oleh Gubernur Sutiyoso. Ia akan menjajaki penggunaan “ Bensin
Singkong “ itu untuk taksi di Jakarta.
Bensin Singkong? Tepatnya bensin dioplos alcohol yang dibuat dari ubi kayu. Di dunia dikenal dengan sebutan gasohol atau gasoline-alkohol.
Penelitian gasohol giat dilakukan untuk mengurangi ketergantungan pada
bensin yang diyakini bakal habis ditambang. Salah satunya alternatifnya
mencampurkan etanol kedalam bensin. Etanol mengandung 35 % oksigen,
sehingga meningkatkan efisiensi pembakaran. Juga menaikkan Oktan,
seperti zat aditif ( methyl tertiary buthyl ether – MTBE) dan tetra ethyl lead (TEL) yang umum dipakai berbeda dengan TEL, Etanol bisa terurai sehingga mengurangi emisi gas buang berbahaya.
Tak
mengherankan pemakain Etanol di dunia makin dan makin Besar, Produksi
etanol dunia untuk bahan bakar diduga bakal meningkat dari 19 Milyar
liter ( 2001) menjadi 31 Milyar liter ( estimasi 2006). Beberapa Negara
di Brasil, Amerika Serikat, Kanada. Uni Eropa dan Australia sudah
menggunakan campuran 63% etanol dan 37% bensin. Sedangkan yang mengisi
tangki Land Rover Pak Menteri itu adalah gasohol Be-10, artinya porsi
Bioetanol 10 % dan Bensin 90 %. Dengan porsi 10 % kerja mesinnya bisa
optimal, “kata Agus Eko Tjahyono. Kepala Balai Besar Teknologi Pati,
Lampung.
Di Indonesia sendiri gasohol bukan barang baru, di
Lampung, gasohol sudah bertahun – tahun mengisi tangki mobil dan motor
para pegawai Bali Besar. Tapi tak pernah dilirik pejabat Jakarta.
Teknologi ini mulai diteliti Balai Besar sejak 1983 dengan bantuan
teknis dari lembaga penelitian Jepang,JICA. Mereka terus mengembangkan
teknologi itu dengan tekad mengubah sumber pati tak berharga itu – di
lampung, tiap kilogramnya, harganya tak lebih dari harga sepotong ubi
goreng di Jakarta – menjadi bahan bakar bernilai tinggi. Hasilnya
?”sekarang, gasohol ubi kayu kami termurah didunia. “kata Agus Eko
Tjahyono.
Sumber Bioetanol memang tak Cuma singkong, bisa juga
tebu,sagu,jagung,gandum,bahkan limbah pertanian seperti jerami. Di
Amerika yang banyak dipakai sebagai sumber pati adalah jagung,tapi Agus
yakin bahan bakar Bakar alternative dari singkongnya mampu bersaing di
pasar.
Teknologi kami makin efisien. Ongkos Produksi lebih murah
dari minyak tanpa subsidi, “ katanya untuk skala kecil, kapasitas 60.000
liter per hari biaya produksinya Rp. 2.400, lebih rendah dibandingkan
dengan bensin yang berkisar Rp. 2.600. Menurut Agus, Gasohol juga bisa
mensejahterakan Petani. Contoh tahun 2004, konsumsi bensin 15 Juta Kilo
liter. Jika 20 %nya diganti gasohol BE-10, berarti menghemat 3 juta
kiloliter bensin. Setiap liter alcohol. Dihasilkan dari 6,5 Kilogram
Singkong artinya butuh 2 juta ton singkong dari lahan 100.000 hektare.
Apabila
menggunakan singkong Varietas unggul Darul Hidayah hanya memerlukan
lahan seluas 13.500 Ha. Dengan menanam singkong Varietas unggul dapat
mengefisiensi :
- Lahan
- Bibit
- Pupuk
- biaya garapan( olah lahan )
- penyiangan rumput
- biaya panen
- biaya angkut
Hasil
panen lebih optimal dalam waktu yang lebih singkat sebesar 100 sampai
150 ton dalam jangka waktu 1 tahun, dari pada singkong konvensional
panen dengan hasil 100 - 150 ton dalam jangka waktu 4 tahun
Sedangkan
untuk kebutuhan tersebut untuk memenuhi pasokan kebutuhan lokal saja
BIGCASSAVA.COM hanya mengambil 30 % dari kebutuhan yang ada atau sekitar
100 ton singkong segar/hari. Apabila target 100 ton singkong segar /
hari diolah dalam bentuk chips singkong sebagai bahan ½ jadi, maka bila
50% dari 100 ton diolah dengan cara padat karya, berdasarkan pengalamn
Pilot Project I per orang setiap harinya mampu menghasilkan Chip
singkong segar sebanyak 300 Kg, artinya apabila setiap harinya dilakukan
produksi chip sebesar 50 Ton atau 50.000 kg berarti menyerap tenaga
kerja sebanyak 167 orang pekerja/hari, dengan upah chips sebesar Rp.
6.000/100. Dengan demikian seorang tenaga kerja chips yang bekerja dari
jam 07.00 pagi s/d 13.00 siang akan memperoleh pendapatan sebesar Rp.
18.000/orang/hari.
Untuk mendukung Program pengembangan budi daya
tanaman singkong Darul Hidayah di Kabupaten Subang sehingga dapat
terlaksana sebagaimana yang direncanakan, maka diperlukan suatu upaya
yang terintegrasi dan Sinergis antara Kopersai, Petani, dan Pemerintah
Daerah Kabupaten Sukabumi maupun Pemerintah Pusat, agar dapat tujuan
pengembangan dan pemberdayaan masyarakat petani dapat tercapai. Salah
satu upaya yang harus dilaksanakan adalah dengan cara memanfaatkan lahan
– lahan tidur baik yang dikuasai Pemda maupun dinas Perkebunan juga
Dinas Kehutanan. Dimana berdasarkan hasil survey dan pertemuan dengan
beberapa instansi terdapat ribuan Ha lahan yang menganggur tidak
dimanfaatkan secara optimal.
Pemasaran singkong (segar, Gaplek, tepung ) diperuntukan :
- Pakan Ternak Sapi Perah , yang sangat tinggi akan karbohidrat yang dapat membantu menambah produksi susu.
- Eksportir Gaplek Tepung untuk MEE & Asia khususnya China
- Pabrik Tapioka
- Pabrik Etanol
No comments:
Post a Comment